Total Pageviews

Tuesday, December 7, 2010


ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)
SEBAGAI ALAT PENILAIAN KUALITAS PELAYANAN PERUSAHAAN

Oleh: Suparno Saputra, SE.,MM
Dosen Tetap Jurusan Msnsjemen Pemasaran Politeknik Pos Indonesia


Ketika perusahaan menyusun rencana kegiatan usaha, maka diperlukan proses pengambilan keputusan yang menuntut ketepatan sesuai dengan situasi lingkungan yang akan dihadapi. Agar proses pengambilan keputusan dimaksud dapat dipertanggung jawabkan, maka diperlukan teknik yang tepat sehingga pilihan yang telah diambil tidak salah dan merugikan perusahaan. Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah suatu teknik kuantitatif yang dapat membantu memudahkan pimpinan perusahaan menyelesaikan secara terstruktur persoalan yang dihadapi dengan atribut/element/dimensi persoalan multi-kompeks, serta mampu menyajikan metodologi yang objektif untuk menentukan keputusan di antara serangkaian alternatif solusi strategis yang harus dipilih (Rangone, A, 1996).
AHP pertama kali diperkenalkan oleh Saaty (Winston, 1993). Teknik AHP telah diimplementasi pada berbagai bidang persoalan perusahaan seperti; perencanaan sistem transportasi, penyusunan portofolio bisnis, penyusunan corporate planning and marketing, dan lain sebagainya (Canada and Sulivan, 1989). Tahapan alur proses AHP mencakup; (a) menyusun tingkat kepentingan relatif di antara atribut/elemen/dimensi keputusan dengan meminta pendapat pihak-pihak yang berkepentingan, berkompeten, memiliki pengalaman praktis dalam area bisnis perusahaan, dan memiliki kewenangan di dalam organisasi perusahaan, mereka bisa terdiri dari para karyawan dan pimpinan perusahaan sebagai pengambil keputusan, pendapat mereka tersebut kemudian dianalisis dengan metode analisis perbandingan, (b) tahap selanjutnya adalah melakukan pembobotan secara algoritmik untuk masing-masing atribut/elemen/dimensi, (c) kemudian menentukan alternatif solusi untuk masing-masing atribut, (d) menentukan skor akhir yang ingin dicapai dari masing-masing alternatif solusi yang telah disusun, (e) terakhir menyusun rating nilai/skor masing-masing alternatif solusi tersebut dan pilih yang mempunyai nilai atau skor tertinggi/terbaik.




PENGARUH CORPORATE IMAGE, REPUTATION,
SATISFACTION DAN CUSTOMER VALUE TERHADAP CUSTOMER RETENTION, SERTA KAITANNYA DENGAN DAYA SAING PERUSAHAAN

Peneliti: Suparno Saputra
Dosen Politeknik Pos Indonesia
Latar belakang

Ketika produk atau jasa perusahaan diluncurkan ke pasar persaingan sempurna, maka pertanyaan yang akan muncul di benak pimpinan maupun manajer perusahaan adalah apakah produk atau jasa perusahaan akan mampu bersaing dengan produk atau jasa pesaing. jawabannya adalah mungkin. Persoalannya seberapa besar tingkat kemungkinan itu terjadi, jika batasan-batasan kekuatan bersaing tidak disiapkan oleh perusahaan. Kajian ini akan melihat batasan dimaksud dari variabel; corporate image, reputation, satisfaction, customer value, dan customer retaintion.

e-mail: suparno_saputra@yahoo.com

ANALISIS KONSEP ZONE OF TOLERANCE SEBUAH PENDEKATAN
DALAM MENILAI KINERJA PELAYANAN RESTAURAN
(Studi Kasus di Restauran Sindang Reret Bandung)

Oleh : Suparno Saputra, SE.,MM
Dosen Tetap pada Jurusan Manajemen Pemasaran Politeknik Pos Indonesia


A.  Latar Belakang Permasalahan

Perkembangan lingkungan bisnis dengan perubahan teknologi yang semakin inovatif mengakibatkan persaingan usaha berada pada level persaingan terbuka (pure competition). Kondisi demikian mengharuskan para manajer bisnis melakukan evaluasi secara kontinyu terhadap kinerja perusahaan terutama yang secara langsung bersentuhan dengan pelayanan konsumen, sehingga dapat diketahui secara tepat posisi perusahaan dari perspektif konsumen.
Persoalan mendasar yang dihadapi oleh perusahaan yang bergerak di sektor jasa adalah masalah pelayanan, baik dalam lingkup internal maupun eksternal perusahaan. Kemampuan memberikan pelayanan terbaik akan berdampak terhadap terciptanya kepuasan konsumen, loyalitas konsumen, pertumbuhan penjualan, dan profit perusahaan, sebagaimana diungkap oleh Heskett et al (1994), dalam kajiannya mengenai “Mata Rantai Profit dan Pelayanan”
Memperhatikan perkembangan sektor jasa di Indonesia selama kurun waktu 20 tahun terakhir terdapat indikasi positif, bahkan mulai tahun 1996, sektor jasa di Indonesia  mampu memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan pendapatan nasional rata-rata sekitar 40% sampai 60% dari pendapatan nasional (Farida, 2005:8), ini adalah sebuah potensi, dan melihat potensi seperti ini maka tidak heran jika saat ini usaha sektor jasa pertumbuhannya sangat signifikan.
Salah satu perusahaan yang bergerak di sektor jasa, adalah usaha rumah makan atau restoran. Rumah makan merupakan tempat yang diorganisasi secara komersil yang menyelenggarakan pelayanan kepada pelanggannya baik berupa makanan maupun minuman dengan tujuan agar pelanggan merasa puas (Marsum, 2005:7). Kepuasan pelanggan merupakan faktor utama dalam mencapai tujuan bagi setiap rumah makan. Pelanggan yang merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan suatu rumah makan, akan mempengaruhi pelanggan-pelanggan lainnya. Pelanggan yang tidak puas akan menceritakan kepada 8 hingga 10 orang, sebaliknya bila merasa puas akan menceritakan bahkan akan merekomendasikan kepada orang lain untuk memilih produk atau jasa yang telah memberinya kepuasan. Ukuran kepuasan konsumen menurut John Sviokla (dalam Lupiyoadi, 2006:181) ditentukan oleh kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan yang berkualitas kepada pelanggan.
Semakin cepatnya pertumbuhan usaha rumah makan membuat persaingan antara rumah makan satu dengan lainnya bertambah ketat. Persaingan dunia usaha yang semakin kompetitif ini menyebabkan setiap pengusaha rumah makan berusaha untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya dengan tidak hanya menawarkan produk tetapi juga dituntut jeli dalam membaca minat dan kebutuhan konsumen. Dalam kondisi persaingan yang ketat tersebut, hal utama yang harus diprioritaskan oleh perusahaan rumah makan adalah kepuasan konsumen agar dapat bertahan, bersaing, dan menguasai pangsa pasar. Perusahaan harus memahami hal-hal apa saja yang dianggap penting oleh konsumen rumah makan agar dapat menghasilkan kinerja (performance) sebaik mungkin, sehingga dapat memuasakan pelanggan.

PENGARUH BRAND EQUITY TERHADAP COMPETITIVE ADVANTAGE

(Survei Terhadap Pengguna Telepon Seluler di Bandung)

Peneliti: 1. Rachmat Tri Yulianto, SE.,MM
2. Suparno Saputra, SE.,MM

 
 1.       Latarbelakang Masalah

Layanan komunikasi berbasis GSM (Global Systems for Mobile communications) merupakan terobosan tercanggih dalam jaringan telekomunikasi saat ini. GSM merupakan jaringan komunikasi nirkabel sehingga, selain praktis, mudah dibawa kemana pun (mobile), juga memiliki akses data yang lebih cepat.
Saat ini persaingan provider Telekomunikasi Selular di Indonesia baik GSM maupun CDMA (Code Division Multiple Access) sangat ketat. Adanya ladang bisnis baru dalam layanan operator telekomunikasi berteknologi GSM, tentunya mengundang beberapa pemain baru untuk turut mengais rejeki dalam bisnis ini. Sampai saat ini, tak kurang dari sembilan perusahaan operator layanan telekomunikasi selular sudah beroperasi di pasar telekomunikasi Indonesia. Dengan masuknya pemain baru, sudah pasti semakin menambah tingkat persaingan bisnis di pasar telekomunikasi Indonesia. Persaingan itu bisa dilihat dari banyaknya merek produk yang ada di pasar. Saat ini saja terdapat empat belas merek lebih untuk produk layanan operator telekomunikasi selular di Indonesia.
Tabel 1.1. Operator dan Merek Selular di Indonesia
No
Nama Operator

Merek

1.
PT. Telkomsel
  §  KartuHALO, SimPATI, Kartu AS
2.
PT. Indosat
  §  Mentari, Matrix, IM3, StarOne
3.
PT. Exelcomindo Pratama
  §  proXL Pra-bayar, proXL Pasca-bayar
4.
PT. Telkom – Telkom Flexi
  §  Flexi Trendy, Flexi Classy
5.
PT. Bakrie Telecom (Ratelindo)
  §  Esia
6.
Mobile-8 Telecom
  §  Fren
7.
8.
9.
PT. Komselindo
PT. Metrosel
Operator lainnya
  §  Smart
  §  Tri (3)
Sumber: Dari Berbagai Media

Adanya Terobosan terbaru dalam sistem jaringan telekomunikasi selular berbasis GSM yang nirkabel dengan teknologi GPRS (General Packet Radio Service), menjadi tantangan serius untuk sistem komunikasi sebelumnya yang berbasis kabel (fixed line). Yang merasakan dampak secara langsung dari adanya teknologi baru ini adalah PT. Telkom Indonesia, yang sebelumnya merupakan pemain satu-satunya di bisnis layanan telekomunikasi di Indonesia yang berbasis kabel (Fixed line). Seperti yang diungkapkan oleh Fadjar Prasetya, dalam majalah MASA (16-29 JUNI 2003) bahwa “Lahan bisnis Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) PT. Telkom tergerus operator selular. Sekitar lima persen pangsa pasar telepon tetap (Fixed line) bermigrasi ke selular dalam setahun ini.”
Dengan kemajuan teknologi yang begitu pesat, saat ini telah tercipta teknologi komunikasi generasi ketiga yang disebut dengan CDMA (Code Division Multiple Access) 2000-1X. Teknologi komunikasi yang bersistem CDMA2000-1X ini diperkenalkan pertama kali oleh PT. Telkom dengan merek produknya ialah Telkom Flexi Trendy sebagai layanan kartu prabayar dan Telkom Flexi Classy untuk layanan kartu pascabayar. Dengan demikian PT. Telkom setidaknya dapat menandingi para pemain telekomunikasi selular sebelumnya. Apalagi dengan beberapa keunggulan baru yang tidak dimiliki oleh teknologi GSM, teknologi CDMA bisa menjadi tantangan untuk GSM. Misalnya,  GSM dengan teknologi GPRS (General Packet Radio Service) dalam transmisi data hanya mampu mencapai 20 kbps (kilo byte per second). Dibanding dengan CDMA dengan kemampuan transmisi data 60 kbps, yang sudah pasti akan berpengaruh terhadap tarif harga yang jauh lebih murah.  Belum lagi teknologi kedepan yang diramalkan lebih unggul dibanding teknologi telekomunikasi yang ada saat ini yang disebut-sebut sebagai teknologi jaringan kerja nirkabel (wireless LAN) yang jauh lebih murah penggunaan dan instalasinya (Kompas, 8 Desmber 2003, h.37)
Berbagai strategi bisnis untuk memenangkan persaingan telah dilakukan oleh masing-masing operator mulai dari menambah feature layanan berupa SMS, MMS, mobile/ponsel banking, pengecekan saldo rekening, auto-transfer, pembayaran tagihan rekening PLN/kartu kredit/PAM, bahkan pengecekan valuta asing, sampai perang tarif. Namun, ketika semua itu telah dilakukan oleh seluruh operator. Maka sudah tidak ada lagi keunggulan, sudah jelas karena semuanya sama. Tetapi, adakah unsur lain yang dapat dijadikan sebagai keunggulan bersaing?  Jawabannya adalah merek. Hanya dengan memiliki ekuitas merek yang kuat, merek dapat dijadikan sebagai unsur dalam keunggulan bersaing. Temporal dan Lee (2002) menyatakan, dalam abad yang mempunyai banyak kesamaan, permerekan akan membuat suatu perbedaan. Dalam dunia yang banyak kesamaan, citra adalah segalanya. Di medan pasar yang penuh sesak, yang terpenting adalah membedakan sebuah perusahaan atau produk dari yang lainnya. Dan merek tidak sekedar membedakan produk perusahaan dengan produk perusahaan lainnya, lebih dari itu merek ialah sebuah kumpulan nilai, simbol, status, aspirasi, prestise dan kekuatan. 
Beberapa contoh diantara merek-merek yang kuat, yang bukan saja mampu memberikan nilai kepada perusahaan tetapi juga kepada pelanggan ialah General Electric (GE), IBM, Sonny, Coca Cola dan merek-merek lainnya. (lihat tabel 2). Begitu pentingnya sebuah merek misalnya majalah bisnis SWA Sembada (No.4/2001) menyebutkan,  Philip Morris membeli merek Kraft Food seharga US$ 13 milyar, (600% lebih tinggi dari book value-nya). Begitupula merek Nabisco pada saat diakuisi KKR harganya US$ 26 milyar, ketika book value-nya seharga hanya US$ 5.8 milyar. Ini adalah sebuah bukti, sebuah nilai yang cukup fantastis yang hanya dapat diperoleh dari merek yang betul-betul kuat, sehingga merek bisa dipandang sebagai aset.

Tabel 1.2. Merek Termahal Dunia Tahun 2000
Ranking Merek
Harga (US$ Juta)
Berdiri (Tahun)
Umur (Tahun)
1.   Coca Cola
83.845
1886
114
2.   Microsoft
56.654
1975
25
3.   IBM
43.781
1911
89
4.   General Electric
33.502
1903
87
5.   Ford
33.197
1903
97
6.   Disney
32.275
1923
77
7.   Intel
30.021
1968
32
8.   McDonald’s
26.231
1955
45
9.   T&T
24.181
1885
115
10. Marlboro
21.048
1900
100
11. Nokia
20.694
1865
135
12. Mercedes
17.781
1886
114
13. Nescafe
17.595
1938
62
14. Hewlett-Packard
17.132
1938
62
15. Gillette
15.894
1901
99
16. Kodak
14.830
1888
112
17. Sony
14.231
1958
42
18. Amex
12.550
1950
50
Sumber: Interbrand
Menurut survey yang dilakukan oleh majalah SWA (No.04/2001), dalam katagori penyelenggara telekomunikiasi. Nama Telkomsel memiliki ekuitas tertinggi, dengan hasil penilaian sebagai berikut: top of mind brand (7,900), top of mind advertising (7,770), brand share (42,230), quality (7,920), satisfaction (40,230), gain index (1,06), projected brand share (42,68), dan value brand (32,3). Peringkat selanjutnya secara berurutan adalah Satelindo, Komselindo, Exelcomindo, dan Metrosel.
Untuk dapat bersaing dalam dunia bisnis yang semakin kompleks dan kompetitif yang dihadapkan pada banyak ragam produk dan merek, suatu merek bukan saja harus dikenal oleh konsumen, memiliki kesan atau citra yang baik, tetapi yang lebih penting adalah mampu memberikan ‘kesan khusus’ dalam ingatan konsumen terhadap manfaat-manfaat emosional dan fungsional yang dirasakan. Kesan khusus inilah yang memberikan sebuah merek memiliki nilai (value of brand) dimata konsumen. Sehingga, diharapkan bukan saja dapat meningkatkan loyalitas pelanggan yang sudah ada tetapi juga mampu menarik pelanggan baru yang potensial.
            Dalam penelitian ini penulis mencoba untuk mengkorelasikan ekuitas merek dengan keunggulan bersaing merek bersangkutan. Alasannya adalah dengan mengetahui keunggulan bersaing suatu merek di pasar, semakin tinggi kemungkinan merek tersebut unggul dalam persaingan. Unggul dalam persaingan bisa berarti perolehan pendapatan yang semakin besar, kemampuan yang baik untuk perluasan merek, tingginya persepsi konsumen terhadap merek tersebut, dan merek yang unggul akan memiliki karisma dimata konsumennya. Berdasarkan uraian di muka, maka penelitian dirumuskan dalam judul “Pengaruh euitas merek terhadap keunggulan bersaing suatu survei pada konsumen pengguna telepon seluler di Kota Bandung”
Jika anda memerlukan kajian lebih lanjut, hubungi e-mail: suparno_saputra@yahoo.com

ANALISIS TINGKAT KEPENTINGAN RELATIF ASPEK SERVICE QUALITY

Peneliti: Suparno Saputra, SE.,MM
Dosen Tetap Politeknik Pos Indonesia

1.  Latar Belakang

Di Amerika Serikat, pekerjaan jasa sekarang menguasai 79% dari semua pekerjaan dan 74% dari produk domestik bruto (Kotler, 2005:110).  Kemudian, John E. Bateson (1989) mengungkapkan, 58% dari total produk nasional bruto --- PNB (gross national product --- GNP) dunia adalah berasal dari sektor jasa. Penelitian lain oleh Carlzon (brown, et al., 1991) mengungkapkan bahwa dewasa ini di banyak negara hampir 70% dari total angkatan kerjanya menekuni sektor jasa. (Lupiyoadi, 2006 : 3).
Di Indonesia, industri jasa (industri tersier) juga terus mengalami perkembangan. Dari sisi pertumbuhan, industri ini mengalami peningkatan pada tahun 1983-1994 sebesar 40%, menjadi 42,1%. Padahal pada periode yang sama, industri primer mengalami penurunan tajam sebesar 44% atau menjadi hanya 27% (sumber: BPS). Demikian juga apabila dilihat dari kontribusi industri jasa terhadap produk domestik bruto --- PDB (gross domestic product --- GDP). Meskipun tidak terlalu tinggi peningkatannya, tetapi pada tahun 1983 terkontribusi sebanyak 32% dan pada tahun 1994 sudah mencapai 35% dari total PDB. Demikian juga hal pangsa tenaga kerja, industri ini pada tahun 1990 sudah menyerap kurang dari 14% total tenaga kerja Indonesia. (Lupiyoadi, 2006:3).
Berbagai faktor bisa dikemukakan sebagai pemicu perkembangan sektor jasa yang demikian pesat, diantaranya (Lovelock, Paterson & Walker, 2004) dalam Fandy Tjiptono (2005:5) :
1.      Internasionalisasi dan globalisasi, seperti ”hollowing out effect”, peningkatan perdagangan jasa, dan bertumbuhnya pelanggan global.
2.      Perubahan regulasi pemerintah, seperti deregulasi dan privatisasi di sejumlah sektor usaha (seperti perbankan, transportasi, telekomunikasi, dan layanan publik), serta kesepakatan baru antar negara dalam hal perdagangan jasa (General Agreement on Trade in Service (GATS) ditandatangani oleh 110 negara pada tahun 1994).
3.      Perubahan sosial, seperti meningkatnya ekspektasi pelanggan, bertambahnya waktu luang, meningkatnya pendapatan di sejumlah negara, dan semakin banyaknya wanita yang masuk ke dalam angkatan kerja.
4.      Tren bisnis, seperti pengendoran standar asosiasi profesional (sejumlah asosiasi jasa profesional mulai mencabut larangan terhadap aktivitas promosi dan periklanan, diantaranya profesi akuntan, arsitek, dokter, pengacara, dan optometrist), penerapan orientasi pemasaran oleh organisasi nirlaba, berkembangnya outsourcing terhadap jasa-jasa non-inti (non-core service), berkembangnya gerakan kualitas (Total Quality Management), dan bertumbuhnya bisnis waralaba (franchising)
5.      Kemajuan teknologi, seperti konvergensi komputer dan telekomunikasi, miniaturisasi, digitalisasi, dan perangkat lunak yang semakin canggih.
Menurut Hermawan Kartajaya (2006:25), dengan semakin banyaknya perusahaan penyedia jasa maka tidak bisa dihindari persaingan yang menjadi lebih ketat dan setiap penyedia jasa harus mempunyai keunggulan bersaing, yang salah satunya adalah kualitas pelayanan yang baik, yaitu sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan. Sejalan dengan kondisi tersebut, maka setiap organisasi atau pelaku bisnis harus fokus pada konsumen, dimana fokus pada konsumen merupakan pilihan strategis bagi industri dan dunia usaha agar mampu bertahan di tengah situasi lingkungan ekonomi yang memperhatikan kecenderungan fluktuasi curam, perubahan demi perubahan, persaingan tinggi, dan semakin canggihnya kualitas hidup. Salah satu cara adalah dengan menciptakan kepuasan pelanggan melalui peningkatan kualitas, karena pelanggan fokus utama ketika kita mengungkap tentang kepuasan dan kualitas jasa. Persoalan kualitas sudah menjadi ”harga yang harus dibayar” oleh perusahaan agar tetap dapat bertahan dalam bisnisnya. (Lupiyoadi, 2006:168).
Di Indonesia tuntutan konsumen dipayungi dengan hadirnya Undang-Undang Konsumen yang melindungi mereka dari rendahnya kualitas jasa yang diberikan perusahaan. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Konsumen) yang berlaku secara efektif sejak tanggal 20 April 2000 menjadi payung hukum bagi tuntutan konsumen. (Lupiyoadi, 2006:168). Kualitas suatu layanan menjadi isu yang dipandang sangat penting dalam memasarkan produk dewasa ini supaya produk dapat diterima dengan baik di pasar. Untuk menciptakan kualitas layanan yang tinggi, perusahaan harus menawarkan layanan yang mampu diterima atau dirasakan pelanggan sesuai dengan atau melebihi apa yang diharapkan pelanggan. Semakin tinggi kualitas layanan yang dirasakan pelanggan dibanding harapannya, pelanggan tentu akan semakin puas. (Istijanto, 2005:174).
Salah satu faktor yang menentukan tingkat keberhasilan dan kualitas perusahaan, menurut John Sviokla (1990), adalah kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan. Keberhasilan perusahaan dalam memberikan layanan yang berkualitas kepada para pelanggannya, pencapaian pangsa pasar yang tinggi, serta peningkatan laba perusahaan tersebut sangat ditentukan oleh pendekatan yang digunakan (Zeithmal, Berry, dan Parasuraman, 1996) dalam Lupiyoadi (2006:181). Dalam rangka menghasilkan suatu pelayanan yang berkualitas, perusahaan dituntut untuk dapat mengukur kualitas pelayanan yang telah diberikan kepada pelanggannya dengan menggunakan model yang lazim digunakan dalam proses penelitian. Dalam hal ini SERVQUAL memiliki aplikasi skala pengukuran yang disebut dengan multiple – item scale yang merupakan hasil penelitian Parasuraman, Zeithmal, dan Berry (1988). Model dengan validitas dan reabilitas yang baik tersebut digunakan perusahaan untuk dapat mengerti lebih baik harapan dan persepsi pelanggan akan pelayanan yang diinginkan, yang dapat menghasilkan peningkatan pelayanan. (Lupiyoadi, 2006:182)
Salah satu aplikasi yang digunakan dari model pengukuran SERVQUAL ini adalah dengan menentukan nilai kepentingan relatif lima dimensi yang mempengaruhi persepsi pelanggan. Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan regresi nilai persepsi kualitas pelanggan dengan masing-masing nilai dimensi SERVQUAL. Kemudian, menurut penelitian yang dilakukan oleh Parasuraman, Zeithmal, dan Berry (1998), disimpulkan bahwa dari kelima dimensi tersebut terdapat kepentingan relatif yang berbeda-beda. (Lupiyoadi, 2006:183). Pelayanan yang berkualitas merupakan sumber diferensiasi utama jika perusahaan ingin keluar dari perang harga dan perang fitur. Pelayanan sebagai pembeda berlaku baik untuk industri produk maupun industri jasa. Bagi industri jasa yang banyak aspek intangible-nya (seperti : industri airlines, perbankan, asuransi, keuangan, telekomunikasi, dan airport). Kualitas pelayanan adalah ”produk” atau hal yang dibeli oleh pelanggan secara langsung. Sedangkan pada industri setengah jasa dan setengah produk (seperti : industri otomotif, electronic appliances, restoran, rumah sakit, modern market, department store), layanan berkualitas jelas merupakan basis pembeda. (Majalah Marketing 02/VII/Feb 2007 hlm. 31) 
Berbeda dengan produk, penilaian konsumen terhadap kualitas jasa terjadi selama proses penyampaian jasa tersebut. Setiap kontak yang terjadi antara penyedia jasa dengan konsumen merupakan gambaran mengenai suatu “moment of truth”, yaitusuatu peluang untuk memuaskan atau tidak memuaskan konsumen. (Farida Jasfar, 2005:48). Kualitas harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi konsumen (Kotler, 2000). Hal ini berarti bahwa citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi pihak penyedia jasa, melainkan berdasarkan sudut pandang atau persepsi konsumen. Konsumenlah yang mengkonsumsi dan menikmati jasa perusahaan, sehingga merekalah yang seharusnya menentukan kualitas jasa. Persepsi konsumen terhadap kualitas jasa merupakan penelitian menyeluruh atas keunggulan suatu jasa dari sudut pandang konsumen. Namun, perlu diperhatikan bahwa sifat jasa yang tidak nyata (intangible) menyebabkan sangat sulit bagi konsumen untuk menilai jasa sebelum dia mengalaminya, bahkan setelah dia konsumsi jasa tertentu pun, sulit bagi pelanggan untuk menilai kualitas jasa tersebut. (Farida Jasfar, 2005:48).  Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian yang berkaitan dengan ”Tingkat Kepentingan Relatif Dimensi Kualitas Pelayanan”.

Jika Anda memerlukan bahasan lebih lanjut, hubungi e-mail: suparno_saputra@yahoo.com

ANALISIS DAYA SAING LAYANAN POS STANDAR DAN POS PRIMA
PT POS INDONESIA (PERSERO)
DENGAN PENDEKATAN SEGMENTATION, TARGETING, AND POSITIONING

LATAR BELAKANG

PT Pos Indonesia (Persero) sebagai entitas bisnis yang berada dalam lingkungan Kementerian Negara BUMN memiliki banyak peluang bisnis di Indonesia. Terlebih lagi, khususnya dalam hal pengembangan layanan jasa pos standar dan prima, PT Pos Indonesia (Persero) juga dikenal sebagai badan usaha yang memiliki begitu banyak sumber daya yang dapat mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan masyarakat, dengan tersebar luasnya outlet layanan di seluruh Indonesia dan adanya sumber daya manusia berbakat dan sangat dekat dengan masyarakat dapat menciptakan produk layanan jasa yang kreatif.Potensi tersebut dapat ditunjukkan dengan begitu banyak dan beragamnya usaha bidang jasa perposan yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, serta meningkatnya kebutuhan masyarakat saat ini akan layanan jasa pos. Selain itu, layanan jasa pos standar dan pos prima PT Pos Indonesia (Persero) sesungguhnya sudah sejak lama ada, yaitu dengan adanya layanan surat, warkatpos, kartupos, barang cetakan, surat kabar, dan paketpos (baik sebagai kiriman biasa/standar, maupun prima/kilat khusus) sebagaimana diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 1984 jo Peraturan Pemerintah RI Nomor 37 Tahun 1985 tentang jenis-jenis pelayanan yang diselenggarakan Pos dan Keputusan Direksi PT Pos Indonesia Nomor 27/Dirut/1998 serta Keputusan Direksi PT Pos Indonesia Nomor  96/Dirut/2000, yang telah disempurnakan dengan Keputusan Direksi PT Pos Indonesia Nomor KD 49/Dirut/0701 tanggal 09 Juli 2001 tentang penyederhanaan produk pos khususnya produk pos Dalam Negeri,  disamping adanya produk-produk kreatif layanan jasa PT Pos Indonesia (Persero) saat ini yang relatif sudah banyak disajikan bagi masyarakat, termasuk juga berbagai disain aliansi layanan pos yang bekerjasama dengan beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang perposan.

Beragamnya produk/layanan dan level pelayanan yang disediakan oleh PT Pos Indonesia di satu sisi memungkinkan konsumen memiliki banyak pilihan, tetapi di sisi lain menimbulkan berbagai kompleksitas prosedur penanganannya yang harus disiapkan oleh perusahaan karena masing-masing produk tersebut diciptakan dengan karakteristiknya masing-masing. Dilihat dari pertumbuhan revenue, baik masing-masing maupun total beberapa tahun terakhir belum menunjukkan angka yang signifikan, bahkan pertumbuhannya cenderung menunjukkan angka negatif. Dilihat dari aktivitas marketing communication atas produk jasa PT Pos Indonesia, umumnya menggunakan strategi pemasaran yang belum secara spesifik memperhatikan adanya perbedaan karakteristik pasar, akibatnya pasar yang sudah diperoleh perusahaan mudah lepas dan berpindah ke provider lain (pesaing) karena belum terdapat ikatan hubungan kuat antara konsumen dengan perusahaan dan produk-produk perusahaan yang dikonsumsi.

Dalam konteks ini diperlukan upaya segmentasi pasar agar aktivitas strategi pemasaran menjadi lebih efektif dan berfokus pada apa yang umumnya dibutuhkan oleh konsumen. Dengan cara ini, diharapkan usaha penciptaan daya saing (point of differentiation) perusahaan dapat berhasil, sebagaimana yang dinyatakan Keller (2003:75) penentuan pasar yang tidak jelas atau kurang terarah tersebut pada akhirnya mempengaruhi posisi pasar dari perusahaan. Lebih lanjut, menurut Keller (2003:75) salah satu dari empat langkah yang bisa digunakan untuk membangun sebuah merek yaitu menciptakan kesesuaian brand image yang ditangkap oleh konsumen dengan brand identity dari produk yang dibangun atau diciptakan oleh produsen. Apabila ingin berhasil dalam persaingan, perusahaan harus berupaya untuk membangun persepsi mengenai produk dan jasa mereka sedemikian rupa dengan menyamakan antara brand identity dengan brand image, sehingga ketika menyebut sebuah kategori produk, dengan sendirinya yang muncul di dalam ingatan atau benak konsumen adalah merek perusahaan dan bukannya merek pesaing.
Peneliti: Tim Poltekpos Indonesia
Email: suparno_saputra@yahoo,com

Competitive Advantage

Identifying and Classifying Sources of Competitive Advantage in


The resource-based, dynamic-capability and knowledge-based views of the firm focus on identifying company-internal success factors. However, their empirical research and its managerial implications suffer from a lack of conceptual clarity and understanding of the structural and hierarchical complexity of resources and capabilities. This paper suggests a three-step capability-classification system that takes into account 1) the division between company-specific and industry-significant capabilities, 2) hierarchies of task-specific, functional and cross-functional capabilities, and 3) the structure of individual capabilities. We tested the usability of the theoretical construct by identifying and classifying the capabilities of the leading North American and European wood-industry case companies. Our study introduces conceptual tools for those aiming to do empirical research on capabilities, explores the interaction between a firm’s capabilities and its competitive environment, and exposes the capability portfolio of wood-industry companies.

Key words: Resources, capabilities, core competence, wood industry, competitive

Monday, December 6, 2010

Rethinking Added Value in the Creative Industries: Combining Theory and Empirical Data

Abstract

Knowledge and understanding of added value in the creative industries are still in the fledgling stages. Despite their undisputed value for the future of Europe, the status of this industrial sector has remained marginal within scientific, economic and political circles to date in most European countries. Reports on the creative industries have reached an almost unmanageable number, giving rise to the most diverse interpretations. The large absence of a systematic convergence makes strategic discussion of the subject matter increasingly difficult, leading to exceedingly marginal consideration of the creative industries in relevant political and economic discourses. The current unsatisfactory situation is in part a reflection of the lack, of any real fruitful convergence of the qualitative and quantitative approaches to the creative industries. This workshop seeks to address this deficit at a high level by pooling together the leading European researchers. The workshop aims to consolidate and evaluate the most recent insights gained from quantitative and qualitative research. By bringing together scientists from both fields, we create a temporary platform allowing for interdisciplinary approaches to the subject. Insights gained from this workshop will provide the basis for further strategic thought at the level of individual countries and/or Europe at large. Practical organisation/General arrangements: The workshop was held at the University of Arts and Design Zurich, from the 29. May 2007 till the 31. May 2007. 17 participants (incl. convenor), from 9 countries. The setting and the programme of the workshop permitted additional informal interaction. The general atmosphere was very open, constructive and the research curiosity was clearly to be felt. The one crucial point was: the participants are specialists in various disciplines, with different research traditions, political backgrounds and acting in different political contexts. At the beginning of the workshop, while finding to each other out of these different backgrounds some frictions could be felt. Because of the interest and engagement of each participant in this workshop, the frictions soon disappeared.

Sumber: Christoph Weckerle, Zurich, Switzerland, 29 - 31 May 2007
                Folder Industri Kreatif
SURVEI PERTUMBUHAN INDUSTRI KREATIF

Oleh: Suparno Saputra
Dosen Tetap Jurusan Manajemen Pemasaran Politeknik Pos Indonesia
Abstract

Suppliers of goods and services industry has grown very rapidly over the last decade mainly based on creativity and innovation. Because of the very significant progress on economic growth, it is necessary to know the driving factors that led to the rapid growth of the creative industry .. This study attempts to develop a method to measure the innovation process in the creative industries as a synthesis. Innovation survey conducted on 1000 small and medium-sized companies and was conducted in July and August

Folder: Industri Kreatif
ANALISIS DAN PERANCANGAN
STANDAR KOMPETENSI SUPERVISOR

Oleh: Suparno Saputra, SE.,MM
                                                                               

Abstrak

Kata Kunci : Supervisor, Standar kompetensi, unit kompetensi, elemen kompetensi,   kriteria unjuk kerja.

Dalam upaya memperlancar pelayanan kepada masyarakat, maka di tingkat Unit Pelaksana Teknis (Kantor pos) kelas I sampai dengan VI dibentuk bagian-bagian yang dipimpin oleh seorang ketua bagian yang disebut “supervisor”. Bagian-bagian atau supervisor dimaksud meliputi; supervisor pelayanan loket-loket, supervisor processing/operasi, supervisor delivery (antaran), supervisor keuangan, supervisor akuntansi, supervisor produk layanan prima, supervisor pelayanan logistik, dan sebagainya sesuai dengan kebutuhan masing-masing unit pelaksana teknis. Peran supervisor dimaksud sangat menentukan dalam menjamin kelancaran dan keberhasilan pelayanan, sehingga tercipta operasional excellent dan service excellent. Untuk memilih supervisor yang tepat, menilai, atau mengukur prestasi para supervisor diperlukan standar atau alat sebagai patokan yang  dikenal dengan standar kompetensi.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis standar kompetensi supervisor meliputi unit kompetensi, elemen kompetensi, kriteria unjuk kerja dan mendapatkan model atau rancangan standard kompetensi kerja bidang supervisi di tingkat Unit Pelaksana Teknik (Kantor-kantor pos) di lingkungan PT Pos Indonesia. Penelitian ini terdiri dari 2 (dua) tahap, yaitu tahap pertama akan diselesaikan pada tahun pertama berupa analisis atau kajian yang bertujuan untuk mengidentifikasi tentang karakteristik kompetensi supervisory di level Unit Pelaksana Teknis (Kantor Pos) PT Pos Indonesia, dan tahap kedua akan diselesaikan pada tahun kedua berupa perancangan standar kompetensi dan metode pengukuran untuk menilai performasi supervisor.
Data penelitian digali dari sampel yang dijadikan responden yang terdiri dari Manajer Pengendalian Mutu Kantor Pusat PT Pos Indonesia, Manajer Produk/Layanan di Kantor Wilayah, Kepala Kantor Pos (Unit Pelaksana Teknis), Supervisor dan Staf di Unit Pelaksana Teknis. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara dan Focus Group Discussion (FGD). Teknik analisis data untuk menganalisis standar kompetensi menggunakan metode penilaian 3600 dan Analitical Hierarchy Process, sedangkan untuk perancangan standar kompetensi menggunakan pendekatan Regional Model of Competency Standard (RMCS).